Minggu, 23 Oktober 2011

Desentralisasi, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan Local Education Authority (LEA)

J
akarta, 17 oktober  2011, pada pertemuan kemarin di ruang 306 gedung Daksinapati UNJ, Kelompok Pertama Manajemen Pendidikan Nasional yang terdiri dari Barkah Agussalim, Putri Bagus dan Rahma Handayani menjelaskan tentang Desentralisasi, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan Local Education Authority (LEA).Desentralisasi digunakan karena sistem tersebut merupakan sistem yang baik dalm manajemen pendidikan untuk sekolah. Dalam bidang pemerintahan desentralisasi sendiri merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pada satuan organisasi pemerintahan di wilayah untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat darise kelompok penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Tujan desentralisasia dalah mencegah pemusatan keuangan, sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dan penyusunan program – program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis. Dengan adanya desentralisasi itu, faktor utama mereformasi pendidikan adalah faktor ekonomi, karena adanya kekhawatiran tentang ketidakmampuan Negara terhadap tenaga kerja dan manajemen untuk menjadi kompetitif secara internasional. Faktor lainnya seperti adanya keengganan untuk membayar lebih dan efek potensial disinsentif pajak tinggi, pada usaha yang produktif. Yaitu, karena bertentangan dengan tuntutan pengguna layanan public dan penerima manfaat kesejahteraan untuk perbaikan pendidikan. Jika belum terselesaikan secara politis, konflik ini memanisfestasikan dirinya dalam inflasi dan memburuknya kinerja perekonomian. Kunci untuk menyelesaikan konflik ini adalah membuat badan pelayanan publik yang lebih efisien dan bergesernya biaya untuk sector swasta. Kekecewaan terhadap kinerja sector public (artinya oleh pemerintahan yang terpilih).

Manajemen pendidikan itu lebih baik menggunakan system desentralisasi, daripada sentralisasi, yang memakai system desentralisasi ini adalah di Negara maju seperti Eropa dan di Amerika. Manajemen yang digunakan oleh system desentralisasi adalah MBS, saat ini istilah tersebut sangat populer, terutama di Amerika Utara, pemerintah Inggris menerapkan manajemennya adalah “sekolah otonomi”, jadi setiap kebijakkan sekolah, yang menentukan adalah pihak sekolah. Dalam implementasi otonomi manajemen, sejak akhir 1990-an, sekolah diminta untuk melaksanakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), suatu pola manajemen yang memberikan ruang gerak dan otonomi yang cukup bagi sekolah untuk dapat menentukan dan melaksanakan sendiri program-program peningkatan mutu dengan dasar akuntabilitas publik. Pola manajemen ini diharapkan menjadi suatu budaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Tujuan dan manfaat pelaksanaan MBS untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Efisiensi pendidikan diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, serta penyederhaan birokrasi. Segala kepentingan sekolah lebih diketahui pleh pengelola sekolah itu sendiri. Oleh sebab itu sumber daya yang ada akan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka peningkatan efesiensi pengelolaan pendidikan. Sedangkan peningkatan mutu pendidikan dapat diperoleh melalui peningkatan profesional guru, kepala sekolah,  partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah (dengan MBS, sekolah dapat dikelola secara fleksibel, tidak kaku, dan disesuaikan dengan lingkungan yang ada). Sedangkan peningkatan pemerataan diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat, memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi (misalnya pemberian hanya  pada kelompok kurang mampu).

LEA ( Local Education Authority) adalah otoritas pendidikan lokal, system ini digunakan oleh Inggris dan Wales yang memiliki tanggung jawab untuk otoritas pendidikan anak-anak. Dengan adanya LEA dunia internasional menjadi terpengaruh terhadap desentralisasi keputusan manajemen di sekolah dan LEA ini menjadi cikal bakal sistem desentralisasi manajemen pendidikan yang  diterapkan di berbagai Negara termasuk Indonesia.(Muhammad Ikhzaruddin) image copyrights

Minggu, 16 Oktober 2011

Otonomi Pendidikan

J
akarta, 10 Oktober  2011, pada pertemuan kemarin di Ruang 306 Gedung Daksinapati UNJ, Pak Amril Muhammad menerangkan penjelasan mengenai Otonomi Pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia. Alasan pemerintah menyelenggarakan Otonomi Pendidikan adalah karena adanya reformasi yang menuntut agar peran serta daerah lebih besar dalam pengelolaan daerah masing – masing dan adanya perubahan undang – undang sisdiknas. Otonomi Pendidikan dibagi menjadi tiga bagian yakni bagian Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota/Daerah Otonom. Fungsi dari bagian Pusat yakni untuk mengatur kebijakan  unum, standar pendidikan, RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional)/ SBI (Sekolah Berstandar Internasional), dan PT (Perguruan Tinggi). Provinsi berfungsi untuk mengatur pendidikan khusus (anak – anak berkebutuhan khusus) seperti SLB (Sekolah Luar Biasa). Sedangkan Kabupaten/Kota/Daerah Otonom berfungsi mengatur pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan non formal.

Didalam Otonomi Pendidikan terdapat pengelola pendidikan yang biasa disebut Kementrian. Pertama adalah Kementrian Pendidikan Nasional (Kemen Diknas) yang bertugas merumuskan secara umum kebijakan pendidikan. Kemendiknas memiliki ciri/karakteristik umum, artinya siapa saja boleh mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga ini. Kemen Diknas memiliki beberapa Direktorat Jendral (Ditjen) yang masing – masing tingkatan mengemban tugasnya sendiri. Direktorat Jendral (Ditjen) pendidikan dasar meliputi Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), pendidikan khusus dasar, tenaga pendidikan dasar yang dipimpin oleh Direktur Jendral (Dirjen). Sekolah atau Madrasah biasanya memiliki Kepala Sekolah atau Kepala Madrasah, Wakil Kepsep (bidang kurikulum, sarana, kesiswaan, humas), kepala Tata Usaha, guru kelas (SD/MI), guru mata pelajaran, guru bimbingan konseling, laboran, pustakawan, dll. Direktorat Jendral (Ditjen) pendidikan menengah meliputi Sekolah Menengah Akhir (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), PK-LK Dikmen, tenaga kependidikan. Direktorat Jendral (Ditjen) pendidikan tinggi meliputi Perguruan Tinggi, akademik, sarana prasarana, kemahasiswaan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Peruguruan Tinggi berupa Akademi A.Md (D3), S.St (D4), Sekolah Tinggi, Institut, Politeknik, dan Universitas. Kelembagaan pada Perguruan Tinggi (PT) adalah Rektor, Ketua, Direktur, Pembantu 1(Akademik), Pembantu 2(Keuangan dan Administrasi), Pembantu 3(Kemahasiswaan), Pembantu 4(kerjasama), Dekan, Pembantu Dekan, KAjur, Prodi, Program Pascasarjana Magister (S2) Doktor (S3), lembaga penelitian, pengabdian masyarakat, penjamin mutu, dan lembaga – lembaga lainnya.

Kedua, ada Kementrian Agama yang memegang peran dalam pengelolaan Madrasah dan sekolah – sekolah agama, ciri/karakteristiknya hanya ada mata pelajaran tambahan keagamaan. Kementrian Agama memilikDirektorat Jendral (Ditjen) Pendidikan Agama Islam (Pendis) yang menangani Madrasah, pendidikan Diniyah dan pesantren, PAIS, Diktis (UIN, STAIN). Untuk agama lain terdapat Ditjen Bimas Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha.

Ketiga adalah Kemen Teknis lainnya dan lembaga setingkat kementrian seperti pendidikan kedinasan, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) yang memiliki sekolah untuk menyiapkan tenaga – tenaga yang bekerja untuk Depdagri seperti IPDN/STPDN, Departemen Keuangan (Depkeu) dengan Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN), Departemen Perindustrian dengan Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI), PU (AKU), Departemen Kehakiman, Badan Pusat Statistik (BPS)dengan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). Kementrian ini memiliki badan diklat pegawai atau pesdiklat pegawai. Ciri/karakteristik dari Kementrian ini adalah semuanya bertujuan untuk menjadi peagawai di departemen yang bersangkutan, adanya ikatan dinas harus mengabdi rata – rata 10 tahun, jika kurang dari masa jabatan tersebut akan dikenakan sanksi yang telah ditetapkan.

Terakhir adalah Polri dengan Akademi Polisi (AKPOL) dan TNI yang memiliki lembaga pendidikan seperti Polri dengan LEMDIKPOL (SPN, AKPD, STIK, Pusdik, Sepolwan, Sepim, Secapa) dan pada TNI terdapat Akabri, Pusdik, Sesko. Ciri/karakteristik dari lembaga ini yaitu lulusannya akan menjadi anggota lembaga yang bersangkutan dan hampir sama dengan Kemen Teknis lainnya, terdapat ikatan dinas dengan jangka waktu yang sudah ditentukan dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi.

Didalam lembaga pendidikan diatas, terdapat Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang bertugas untuk mengatur standar isi, SKL, proses, tenaga pendidik, penilaian, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. BAN Sekolah/Madrasah, BAN Perguruan Tinggi terdapat badan akreditasi untuk mengakreditasi. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) untuk meningkatkan kompetensi guru, lalu Pengawas yang melakukan supervisi. Khusus di Kemendiknas terdapat Balitbang Pendidikan berupa pusat kurikulum dan perbukuan, puslit kebijakan dan inovasi (puslitjaknov), dan pusat informasi pendidikan.(Muhammad Ikhzaruddin) image copyrights

Minggu, 09 Oktober 2011

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


J
akarta, 03 Oktober  2011, pada pertemuan kemarin di Ruang 306 Gedung Daksinapati UNJ, Pak Amril Muhammad menerangkan penjelasan mengenai Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Mengapa Manajemen Berbasis Sekolah sangat diperlukan? Menurut penjelasan Pak Amril kemarin, ada beberapa latar belakang yang membuat Manajemen Berbasis Sekolah sangat diperlukan saat ini. Seperti yang sudah kita ketahui program peningkatan mutu pendidikan telah dilaksanakan selama enam pelita dengan investasi cukup besar, namun mutu pendidikan tersebut masih rendah. ”Hal ini dilihat dari index human development yang menunjukan bahwa mutu pendidikan Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Vietnam”, ungkap Pak Amril. Sangat disayangkan memang, mengingat zaman awal kemerdekaan Indonesia banyak mengirim tenaga pendidik untuk Malaysia, namun justru saat ini mutu pendidikan di Negara kita yang tertinggal oleh Negara serumpun tersebut. Selain itu, sekolah lebih tahu kelebihan, kelemahan, dan kebutuhan sendiri.  Pengataman terhadap sekolah bermutu dan sekolah yang turun mutunya. Selama ini pemerintah menganggap pembinaan bersifat ‘input oriented’. Regulasi birokrasi terhadap penyelenggaraan pendidikan terlalu ketat. Partisipasi masyarakat belum optimal dan hasil studi tentang ‘effective schools’. Hal – hal tersebut merupakan latar belakang mengapa perlu diadakannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Selanjutnya kebijakan Manajemen Sentralistik yang berdampak pada sikap dan perilaku sekolah. Pertama, sekolah hanya mengikuti peraturan, tunggu petunjuk, dan cenderung pasif. Kedua, inisiatif dan kreatifitas kurang berkembang. Ketiga, kurangnya tanggung jawab dan cenderung lempar tanggung jawab keatas. Keempat, bersifat birokratif hanya meniru praktek dari atas. Lalu bersifat mekanistis, repetitive, semangat bekerja kurang (kurangnya motivasi karena tidak ada kompetensi). Terakhir, aspirasi kurang direspon oleh sekolah (ide pembaharuan, budaya, spiritual, dan social ekonomi).

Karateristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) meliputi kemandirian, pendayagunaan sumber, pendayagunaan masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas. Kemandirian maksudnya sekolah sudah dianggap dewasa dan mampu bertanggung jawab. Pendyagunaan sumber maksudnya dapat memanfaatkan segala sumber apapun yang tersedia. Transparansi maksudnya setiap kegiatan yang dilakukan harus didasarkan pada asas kejujuran. Lalu akuntabilitas yakni kemampuan atau hasil harus sesuai dengan yang diharapkan. 

Esensi umum Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu adanya ‘framework’ (kerangka acuan) nasional yang bersifat desentralisasi pelimpahan mandate dari pusat ke daerah. Ada ‘national lines’ (garis besar pedoman nasional). Tidak terjadi perbedaan yang mencolok antara sekolah – sekolah negeri dengan sekolah – sekolah swasta. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tidak dengan sendirinya (otomatis) maningkatkan mutu pendidikan, secara harfiah sebagai devolusi kewenangan dari pusat ke sekolah tidak disertai kesadaran akan mutu pendidikan, hingga diperlukan manajemen mutu pada tingkat sekolah dengan strategi ‘effective schools’.

Ciri – ciri Sekolah Efektif (Effective schools) pertama lingkungan tertib dan aman. Kedua, mempunyai visi, misi, dan target yang jelas. Lalu kepemimpinan yang kuat, pengembangan staff, tingkat harapan yang tinggi, evaluasi untuk perbaikan PBM, adanya partisipasi orangtua dan masyarakat dalam segala kegiatan sekolah, dan terakhir ada komitmen bersama dalam meningkatkan mutu. Ciri – ciri ini hanya mungkin segera dilakukan secara optimal melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)/ School-Based Management (SBM). Langkah yang dilakukan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu evaluasi diri (self-assessment), perumusan visi, misi, dan target mutu yang jelas, perencanaan program kegiatan, pelaksanaan program kegiatan, monitoring dan evaluasi program, dan terakhir penetapan target mutu baru. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga memerlukan pengontrolan yang berupa Transparansi manajemen sekolah, Akuntabilitas, Benchmarking (evaluasi internal atau eksternal). Jika hal – hal diatas dijalankan dengan baik oleh sebuah sekolah maka bukan hal yang tidak mungkin jika mutu pendidikan Indonesia akan semakin membaik kedepannya.(Muhammad Ikhzaruddin)

Sabtu, 01 Oktober 2011

Sistem Pendidikan Nasional



J
akarta, 19 September  2011, pada pertemuan kemarin di ruang 306 gedung daksinapati UNJ, pak Amril Muhammad menerangkan beberapa penjelasan mengenai pendidikan, pembelajaran, sistem pendidikan nasional, jalur pendidikan, jenjang pendidikan, jenis pendidikan dan standar nasional pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. “Usaha sadar disini maksudnya mengacu pada logika, teori, dan hal-hal umum”, ungkapnya. Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sistem pendidikan nasional yaitu keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk  watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya untuk mengembangkan pontensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi dalam suatu proses. Menurut pak Amril, terdapat 3 jalur pendidikan yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal biasanya terstruktur, berjenjang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal diluar pendidikan formal, dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Contohnya pada home schooling, lembaga ini biasanya terstruktur dan berjenjang hasil akhirnya bisa disetarakan/dihargai dengan pendidikan formal yakni berupa ijazah paket A untuk sekolah dasar, paket B untuk SMP, dan paket C untuk SMA. Contoh lain dari pendidikan nonformal adalah pendidikan kecakapan hidup, anak usia dini, kepemudaan, keaksaraan, kesetaraan, lembaga kursus, pelatihan, kelompok belajar yang ditujukan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Terakhir pendidikan informal, pendidikan informal yaitu jalur pendidikan dalam keluarga dan lingkungan, pendidikan ini yang paling dasar dan penting dalam pembentukan karakter seseorang.
Jenjang pendidikan merupakan tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapak, dan kemampuan yang dikembangkan. Contohnya pada pendidikan formal terdapat jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Jenis pendidiakan yaitu kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan ppendidikan. Contohnya, pendidikan umum (SD, SMP, SMA), akademik (AKMIL, AKPOL), profesi (STM, SMK), vokasi, keagamaan (Madrasah, Pesantren), dan khusus.
Standar nasional pendidikan yaitu kriteria minimal tentang system pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar nasional pendidikan terdiri atas isi, proses, kompetensi kelulusan, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. “Standar ini digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan”, tandas pak Amril dosen manajemen pendidikan nasional.(Muhammad Ikhzaruddin)